Minggu, 02 November 2014

Arti sebuah kritikan






Pernahkah anda mendapatkan kritikan? Kalau saya jujur sering sekali. Bagaimanapun lembutnya sebuah kata kritikan pasti menyakitkan bagi orang yang menerimanya. Kita tahu tujuan orang tersebut mengkritik kita sebenarnya baik, yaitu agar kita menjadi orang yang lebih baik.


Sungguh seorang akan sangat berterimakasih sekali saat orang lain mengkritiknya apabila ia sudah merasakan dahsyatnya manfaat kritikan tersebut. Tapi kebanyakan justru merasa bahwa kritikan adalah sebuah judging atau penghakiman atas kepribadian orang lain. Saya katakan TIDAK, tidak jika kita betul-betul melihat kritikus adalah penyeimbang sekaligus pemerhati setiap tindakan kita.


Bisa dibilang kritikan adalah pembangun semangat jiwa untuk tetap berlomba-lomba dalam kebaikan. Sekaligus ujian keikhlasan kita dalam menjalani kehidupan kita. Saya punya suatu kisah, yaitu seorang yang dulunya pendosa kelas kakap. Terlahir dari keluarga sederhana dan lingkungan biasa saja membuat dia menjadi orang yang umum. Saking umumnya ia selalu menganggap perbuatan dosanya adalah perbuatan umum orang kebanyakan. Suatu saat ia merasakan tamparan yang Allah kirimkan sebagai pengingat untuknya. Kepompong dari jiwanya pun mulai tumbuh sayap menandakan ia berproses menuju kedewasaan.


Ia mulai sadar bahwa setiap tindakan yang ia lakukan di masa lalunya adalah perbuatan yang tidak disukai Tuhan bahkan dibencinya. Ia menemukan jati dirinya dengan pendekatan religius yang ia dapatkan. Ia mulai percaya diri menjalani kehidupannya dan tak mau mengingat masa lalunya yang kelam. Ia justru mengajak banyak orang untuk menebarkan benih kebaikan bernafaskan illahi.


Suatu hari ia melakukan dosa kecil yaitu dengan menyakiti hati saudaranya tanpa ia sengaja. Lalu, ia mendapat kritikan hebat dari saudaranya itu. Sebuah kritikan yang mengguncang jiwa dan memanaskan hatinya. Ia sampai tak bisa meneteskan air mata saking marahnya. Bagaimana tidak? Saudaranya membuka luka lama tentang dosa-dosa yang diperbuatnya dulu. Dosa ketika ia menjadi manusia hina tak kenal agama dengan baik. Ia terpukul karena tak menyangka saudaranya itu justru mengingat masa lalu bukan masa sekarangnya.


Kalian tahu berapa lama ia menghilangkan kritikan itu dari otaknya? Sangatlah lama, karena disaat ia sibuk memperbaiki diri justru datanglah ujian lewat kritikan tersebut. Kritikan yang terngiang selalu dalam benaknya untuk terus mengingat masa lalunya.
Ia pun bertanya pada seorang yang ia rasa mampu mengobati lukanya itu. Jawaban inilah yang membuatnya melupakan rasa sakit itu.


“Jika kita tidak bisa meniru amalnya para ulama dan orang shalih, maka tirulah taubatnya para pendosa” Dua-duanya dicintai Allah.
Lihat bukan betapa cintanya Allah terhadap hambanya. Jangan terpaku dengan penilaian manusia tapi Rabb yang menciptakan dan memberikan kehidupan. Kritikan itu seperti percikan embun yang menyegarkan daun-daun jiwa kita.

Bentuk ujian bermacam-macam dan bisa lewat siapapun, bisa jadi peringatan bahkan peningkatan level keimanan kita.Memang begitulah ujian keikhlasan, tidak perlu disebut seperti layaknya surat Al-ikhlas yang tidak ada sedikitpun kata ikhlas.Jangan sibuk menilai diri, bukalah penyesuain diri dengan penilaian Allah.Semoga kita termasuk hamba-hambanya yang mengambil pelajaran dalam setiap ujian. Amin

 




0 comments:

Posting Komentar